KENDARI, EDISIINDONESIA.com – Organisasi Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyoroti aktivitas tata niaga sumber daya nikel.
Diketahui, salah seorang karyawan PT OSS berinisial ZN membeberkan kejahatan yang diduga dilakukan Devisi LAB PT OSS, terkait perbedaan perhitungan kadar biji nikel dari permainan oknum di manajemen PT OSS, yang berpotensi merugikan penerimaan PNBP.
Ketua DPD GPM Sultra, Rajab, menilai, terdapat masalah tata niaga nikel, yakni perbedaan signifikan terhadap hasil pengukuran kadar biji nikel antara penambang di hulu dan pengusaha smelter di hilir. Kondisi ini, kata dia, dapat membuyarkan potensi penerimaan negara dari sektor tambang.
“Selama ini data yang di serahkan pihak LAB ke HOD itu diduga tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Beberapa di antaranya ada yang kadar 1,0 persen, namun ketika laporan hasil analisa diserahkan ke HOD, kadar yang awalnya tidak memenuhi standar itu tiba-tiba saja berubah menjadi 1,5 hingga 1,7 persen atau sebaliknya” jelas Rajab, Selasa (12/10/2021).
“Ini perbedaan yang mengundang tanda tanya karena sangat jauh. Ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian, bahkan sudah merugikan pengusaha di sektor hulu pertambangan, juga mempengaruhi penerimaan negara,” sambungnya.
Rajab menjelaskan, penentuan kadar biji nikel yang lebih rendah dapat mempengaruhi penerimaan royalti bagi negara. Misalnya, selisih kadar 0,5 persen dikalikan dengan harga patokan mineral (HPM), lalu dikalikan dengan nilai tukar rupiah, kemudian dikali total produksi 2021 yang berkisar 2,2 juta metrik ton.
Menurutnya, estimasi kerugian negara dari berkurangnya penerimaan royalti bisa setara Rp 338,8 miliar per 2021.
“Ini baru dari royalti, belum dari pos penerimaan lain seperti potensi Pajak Air Permukaan yang menjadi hak Provinsi Sulawesi Tenggara<” tegasnya.
“Tentu proyeksi penggunaan air permukaan akan dipengaruhi oleh produksi feronikel dari perusahaan sehingga ketika data nikel yang masuk tidak valid maka besaran pajak juga akan tidak tepat,” lanjutnya.
Hal ini, kata dia, bukan hanya merugikan Negara tapi Sultra sebagai daerah yang mendapatkan langsung dampak ekologis tambang merasa dirugikan.
Selain itu, Rajab juga menilai, di sektor pertambangan, khususnya nikel terdapat kasus yang mengarah kepada Illicit Financial Flow (IFF). Kasus itu terkait perpindahan dana gelap ke negara lain, yang didapatkan, ditransfer, atau digunakan secara ilegal dalam lintas batas yurisdiksi.
Berdasarkan data Global Financial Integrity, rata-rata IFF pada kurun 2008-2017 mencapai US$43 miliar. Berpotensi merugikan negara dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.
Dia melihat adanya indikasi IFF terjadi di Tanah Air, karena adanya data impor biji nikel di China senilai US$4 juta pada 2016 yang berasal dari Indonesia.
Padahal, sejak 2014 pemerintah melarang ekspor biji nikel sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) nomor 1/2014. Dengan asumsi nilai tukar Rp14.000 per dolar AS, nilai ekspor bijih nikel ke China itu setara dengan Rp61 miliar.
“Dengan tarif royalti 5 persen, negara seharusnya memperoleh penerimaan Rp3.02 miliar. Indonesia menjadi negara yang dirugikan dari praktik IFF. Olehnya itu, kami meminta pihak terkait untuk mengusut tuntas permainan jahat oknum manajemen PT.OSS,” pungkasnya. (red/EIn)
Reporter: Safar
Comment