KENDARI, EDISIINDONESIA.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait dugaan penggusuran lahan di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, oleh PT Marketindo Selaras, Selasa (25/2/2025).
Rapat yang berlangsung panas ini mempertemukan berbagai pihak yang bersengketa, termasuk masyarakat lokal, perusahaan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe Selatan.
Perbedaan pendapat mencuat dalam diskusi tersebut, dengan masing-masing pihak mengklaim memiliki hak atas lahan yang dipermasalahkan.
Ketua Konsorsium Masyarakat Petani Angata Konsel (Kompak), Tutun, menegaskan bahwa konflik lahan ini bukan perkara baru, melainkan telah berlangsung sejak era 1990-an akibat aktivitas perusahaan sebelumnya, PT Sumber Madu Bukari (SMB). Konflik Berlarut Sejak 1996, Masyarakat Tak Kunjung Dapat Solusi
Menurut Tutun, hingga kini, belum ada penyelesaian yang berpihak kepada masyarakat meskipun masalah ini telah berlangsung hampir 30 tahun.
“Dan ini persoalan sudah hampir 30 tahun, terjadi sejak 96 sampai hari ini belum ada solusi yang berpihak pada masyarakat,” ujarnya dalam rapat.
PT SMB, yang sebelumnya beroperasi di wilayah tersebut, meninggalkan banyak permasalahan yang masih membebani masyarakat setempat, termasuk ganti rugi tanaman tumbuh dan harga tanah yang dianggap tidak adil.
Namun, setelah PT SMB tidak lagi beroperasi, PT Marketindo Selaras muncul dan mulai mengolah lahan yang ditinggalkan tanpa menyelesaikan persoalan sebelumnya.
“Yang menjadi pertanyaan kenapa PT Marketindo Selaras hari ini datang dengan instan menguasai, ingin mengolah lahan yang ditinggalkan Sumber Madu Bukari yang tidak diselesaikan dengan baik pada saat itu,” lanjut Tutun.
Di sisi lain, PT Marketindo Selaras membantah tuduhan tersebut. Humas PT Marketindo Selaras, Sartin, menjelaskan bahwa lahan yang mereka ukur berada di luar kawasan reboisasi seluas 486,2 hektare di Desa Motaha. Ia juga menyebut bahwa tanah tersebut sudah dibayar oleh PT SMB sebelumnya.
Lebih lanjut, Sartin menegaskan bahwa apabila polemik ini terus berlanjut, pihaknya siap membuka dokumen asli di pengadilan untuk membuktikan legalitas lahan yang mereka kuasai.
“Apabila masalah ini berlanjut, maka dokumen aslinya akan kami keluarkan di hadapan pengadilan,” ungkapnya.
Selain konflik kepemilikan lahan, muncul dugaan adanya pengukuran tanah secara diam-diam oleh oknum BPN Konawe Selatan. Namun, Kasi Pengadaan Tanah dan Pengembangan BPN Konsel, Taufik Tangkin, membantah mengetahui praktik tersebut.
“Terkait pengukuran sembunyi-sembunyi, kami tidak tahu juga kemarin,” tegasnya.
Taufik menambahkan bahwa secara teknis, pengukuran lahan seharusnya dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk pemilik lahan, guna memastikan transparansi dalam proses tersebut.
Isu lain yang mencuat dalam RDP ini adalah status legalitas PT Marketindo Selaras dalam mengolah lahan. Berdasarkan pernyataan dari Penata Pertanahan Muda BPN Konsel, Markus Senimianto, perusahaan tersebut belum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Padahal, menurut regulasi yang berlaku, izin usaha perkebunan harus memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang bersamaan dengan HGU.
Menanggapi hal ini, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, Andi Rahman, menilai bahwa operasi PT Marketindo Selaras tanpa HGU merupakan pelanggaran.
“Dimana telah dijelaskan dalam Undang-undang perkebunan dan pertanian bahwa kewajiban perkebunan sawit harus memiliki IUP dan HGU,” ungkapnya.
Andi juga mengungkapkan bahwa banyak lahan masyarakat yang telah digusur secara paksa oleh PT Marketindo Selaras. Ia menyebut bahwa luas lahan yang saat ini dinyatakan bersengketa mencapai 1.300 hektare.
Selain itu, ia menyoroti tindakan PT SMB yang menjual sahamnya ke PT Marketindo Selaras tanpa menyelesaikan masalah yang telah terjadi sebelumnya.
Dengan banyaknya permasalahan yang mencuat dalam RDP ini, DPRD Sultra berencana untuk mengambil langkah lebih lanjut. Ketua Komisi I DPRD Sultra, La Isra, menyatakan bahwa pihaknya akan berkonsultasi dengan Ketua DPRD Sultra, La Ode Tariala, untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menangani sengketa lahan tersebut secara lebih mendalam.
“Kami akan berkonsultasi ke pimpinan DPRD untuk membentuk Pansus,” pungkasnya.
Konflik lahan di Angata ini menjadi salah satu potret permasalahan agraria yang kerap terjadi di Indonesia, di mana hak kepemilikan tanah masih menjadi isu krusial yang memerlukan penyelesaian hukum yang adil dan berpihak pada keadilan bagi masyarakat setempat.
Dengan adanya dorongan pembentukan Pansus oleh DPRD Sultra, diharapkan konflik ini bisa menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak, tanpa mengesampingkan hak-hak masyarakat yang telah lama terpinggirkan. (**)
Comment