KENDARI, EDISIINDONESIA.id – Salah satu program ungggulan Pasangan Calon (Paslon) Wali Kota Kendari nomor urut 1, Siska Karina Imran dan Sudirman, adalah menyediakan anggaran sebesar Rp100 juta per RT setiap tahun.
Melalui program itu, Siska-Sudirman menginginkan pembangunan Kota Kendari dimuli dari RT. Dimana dalam pelaksanaanya, dari anggara Rp100 juta tersebut, setiap RT dapat secara mandiri mulai dari merencanakan dan melaksanakan pembangunan di wilayahnya, hingga melakukan pengawasan.
Menggapi hal tersebut, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Halu Oleo (UHO), Muh. Aldian Syahputra menilai, program yang kembali diungkapkan Paslon nomor urut 1 pada debat kedua calon wali kota tersebut, tidak realistis untuk dilaksanakan.
Pasalnya, jumlah RT di Kota Kendari berjumlah sebanyak 1.060 RT. Jika setiap RT diberi Rp100 juta, maka program itu menghabiskan anggaran sebesar Rp106 miliar setiap tahun, sementara itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Kendari hanya berjumlah Rp1,63 triliun (2024).
Ia menerangkan, dalam APBD sudah ditetapkan pos belanja yang harus dilaksanakan. Pertama adalah Belanja Operasional Pemerintah Kota yang terdiri dari belanja pegawai, barang dan jasa, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
“Untuk alokasi belanja pegawai saja itu sudah menghabiskan APBD sebesar Rp774 miliar, sehingga sisa APBD yang bisa dikelola pemerintah sisa sekitar Rp800 miliar,” jelas Aldian, Selasa (12/11/2024).
“Belum lagi untuk belanja modal pemerintah seperti belanja bangunan dan gedung, jalan dan irigasi, pemeliharaan aset daerah, dan sebagainya, itu mau dibiayai pakai apa? Belum lagi cicilan pokok utang pemerintah kota yang harus dibayar setiap tahun sebanyak Rp61 miliar per tahun,” sambungnya.
Selain tidak realistis untuk dilaksanakan, kata Aldian, program Rp100 juta per RT juga bertentangan dengan regulasi tentang perencanaan pembangunan maupun pengelolaan keuangan daerah.
Aldian menjelaskan, Undang-Undang (UU) yang mengatur perencanaan pembangunan daerah adalah UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ia menjelaskan, dalam tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, penetapan, hingga pelaksanaan pembangunan, itu sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintah Desa/Kelurahan. Begitu pula dalam pengelolaan keuangan daerah.
Aldian menegaskan, dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, pemerintah di tingkat RW dan RT tidak memiliki kewenangan mengelola APBD. Pada akhirnya, masyarakat hanya diharapkan berperan aktiv merencanakan pembangunan melalui Musrembang, serta turut mengawasi pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Sehingga ia menilai, program Rp100 juta per RT merupakan upaya pembodohan masyarakat. Untuk itu, Aldian menghimbau masyarakat agar cerdas dalam menilai visi misi serta program dari calon kepala daerah, dan tidak terbuai oleh janji-janji yang tidak realistis untul dilaksanakan.
“Sebagai mahasiswa yang konsen pada Ilmu Ekonomi dan mengkaji tentang Keuangan Daerah, saya menilai program Rp100 juta per RT itu adalah upaya untuk membodohi masyarakat. Sebab baik secara logika maupun regulasi, program itu tidak mungkin terlaksana,” tegas Aldian. (**)
Comment