KPK Sita Aset Senilai Rp882 Miliar dari Kasus Korupsi Kredit LPEI

EDISIINDONESIA.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita 24 aset senilai Rp 882 miliar terkait dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

“KPK telah melakukan penyitaan aset atas nama perusahaan yang terafiliasi dengan tersangka, yakni sebanyak 22 aset di wilayah Jabodetabek serta dua aset di Surabaya,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Asep menjelaskan, nilai aset yang disita tersebut didasarkan pada hasil penilaian menggunakan Zona Nilai Tanah (ZNT). Total aset yang diamankan mencapai Rp 882 miliar.

Sementara itu, KPK juga telah menahan tiga tersangka dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit LPEI selama Maret 2025. Ketiga tersangka adalah Direktur Utama PT Petro Energy (PE) Newin Nugroho yang ditahan pada Kamis (13/3), Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin, dan Direktur Keuangan PT PE Susi Mira Dewi Sugiarta yang ditahan pada Kamis (20/3).

Dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada PT PE menyebabkan kerugian negara yang ditaksir mencapai 18,07 juta dollar AS dan Rp 594,144 miliar, atau sekitar Rp 891,305 miliar.

Asep mengungkapkan, kasus ini diduga bermula dari adanya benturan kepentingan antara pejabat di LPEI dan pihak debitur dari PT PE. Benturan kepentingan itu berwujud kesepakatan awal yang mempermudah proses pemberian kredit.

Selain itu, Direktur LPEI diduga tidak melakukan pengawasan terhadap kebenaran penggunaan kredit sebagaimana tercantum dalam Master Agreement Program (MAP). Ia tetap memerintahkan jajarannya untuk mencairkan kredit kepada PT PE meskipun hasil analisis internal menunjukkan perusahaan tersebut tidak layak mendapatkan fasilitas pembiayaan.

“Sebetulnya, hasil pengecekan menunjukkan adanya informasi dari bawahan di LPEI bahwa debitur ini tidak cocok untuk mendapatkan kucuran kredit. Namun, karena di awal sudah ada pembicaraan dan konflik kepentingan (conflict of interest), maka kredit tetap diberikan,” kata Asep.

Ia juga menambahkan, PT PE diduga memalsukan dokumen berupa purchase order (pesanan pembelian) dan invoice (faktur) yang menjadi dasar pencairan kredit. Akibat pemberian kredit tersebut, negara mengalami kerugian yang signifikan. (edisi/fajar)

Comment