BOMBANA, EDISIINDONESIA.id – Praktik jual beli lahan secara ilegal di Blok Tekonindo, Desa Pongkalaero, Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, memicu kemarahan warga.
Mereka mengklaim lahan mereka telah dirampas dan dijual secara diam-diam kepada PT Tri Daya Jaya (TDJ) tanpa persetujuan, dan kini mengancam untuk membawa masalah ini ke ranah hukum.
Lahan seluas 142,7 hektar ini diperkirakan bernilai miliaran rupiah, dengan harga per meter mencapai Rp 7.500. Namun, warga merasa telah dikhianati oleh sekelompok orang yang diduga terlibat dalam penjualan lahan ini tanpa memiliki dokumen sah.
Salah satu warga, Sidik, tidak dapat menahan kemarahannya setelah mengetahui lahan yang telah mereka kelola sejak 2010 berpindah tangan ke pihak perusahaan. Ia mengenang perjuangan mereka saat merintis lahan, yang membuatnya rela meninggalkan keluarga dan tidur di hutan selama berhari-hari.
“Jadi itu lahan sejak tahun 2010, kita olah bersama. Di situ kita tanam kopi, lahan itu sudah lama kita rintis. Kami banyak berkeringat di situ,” ujarnya, Selasa (1/10/2024).
Sidik juga mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap alasan kelompok penjual lahan yang mengklaim dokumen berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) yang mereka miliki sudah kedaluwarsa.
“Katanya tidak berlaku lagi karena sudah lama,” terangnya.
Sidik menegaskan bahwa ia tidak akan merelakan lahan tersebut dijual oleh pihak lain. Ia pun akan mengambil langkah hukum jika tidak ada itikad baik dari perusahaan atau kelompok penjual.
Kemarahan serupa juga disampaikan oleh masyarakat lainnya bernama Mulyono. Ia menjelaskan bahwa hampir seluruh masyarakat Desa Pongkalaero, sekitar 60 kepala keluarga, terlibat dalam pengolahan lahan tersebut.
“Kami itu kelompok tani, kaplingan itu kami lakukan untuk perkebunan,” ujarnya.
Mulyono menyoroti bahwa lahan yang mereka garap kini telah masuk dalam izin usaha pertambangan (IUP), dan ia mengingat kembali saat ada peringatan tentang status lahan yang mereka klaim.
“Disitu, diingatkan bahwa rintisan lahan yang dikapling itu, sudah masuk kaplingan kami. Hanya pada saat itu, ada salah satu yang juga tokoh masyarakat di desa kami mengatakan rintisan kami itu sudah lama dan sudah tidak berlaku,” terangnya.
Lebih lanjut, Ia menegaskan bahwa pihaknya memiliki legalitas atas lahan tersebut, dengan dokumen yang dibuat pada tahun 2011, lengkap dengan peta dan tanda tangan aparat desa serta camat.
“Bahkan, batas-batas lahan yang ada jika mereka lihat itu mereka bongkar,” bebernya
Selain itu, Mulyono juga menyatakan bahwa transaksi jual beli lahan mereka dilakukan di Kendari, dengan uang miliaran rupiah diserahkan oleh pihak perusahaan kepada kelompok penjual di salah satu hotel. Untuk menghilangkan jejak, mereka berpindah dari satu hotel ke hotel lainnya.
“Kami marah. Hanya kami masih mengontrol diri, sambil rembuk mencari langkah-langkah selanjutnya. Jika tidak ada penyelesaian, kami akan menempuh jalur hukum,” ungkapnya.
Sementara itu, Abdul Munif, Ketua BPD Desa Pongkalaero, mengaku mengetahui proses jual beli lahan tersebut. Ia mengatakan, saat proses transaksi berlangsung, ia dihubungi karena kebetulan sedang berada di Kota Kendari untuk pelatihan aparat desa.
“Sampai kapanpun kami tidak terima. Lahan itu milik kami, yang menjual itu tidak miliki hak karena mereka baru merintis. Saya tidak banyak informasi terkait itu. Saya hanya bantu saja. Kebetulan saya di Kendari, saya ada di situ dihubungi,” imbuhnya.
Munif menegaskan bahwa ia telah memperingatkan agar lahan tidak diambil karena ada yang mengklaim hak atasnya. Namun, ketika ditanya tentang status lahan tersebut, ia menjawab bahwa lahan itu merupakan areal pengguna lain (APL).
“Saya tanya perusahaan, yah begitu (statusnya APL). Terkait lahan itu, saya belum tahu banyak. Nanti jelasnya tanya ke pihak perusahaan,” tutupnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT Tri Daya Jaya (TDJ) belum dapat dihubungi untuk memberikan klarifikasi terkait masalah ini. Upaya media ini untuk menghubungi bagian Hubungan Masyarakat (Humas) melalui telepon dan pesan WhatsApp belum mendapatkan tanggapan.
Ketegangan di Desa Pongkalaero semakin memuncak, dan warga bertekad untuk memperjuangkan hak mereka atas lahan yang telah mereka garap selama bertahun-tahun. (**)
Comment