KENDARI, EDISIINDONESIA.com- Peraktisi Hukum Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Apri Awo angkat bicara mengenai laporan dugaan pencemaran nama baik terhadap Gubernur Sultra, Ali Mazi yang diajukan Ajudan Gubernur Sultra, Ulil Amri dinilai cacat hukum.
“Kalau pencemaran nama baik, itu harus yang bersangkutan sendiri melaporkan, tidak bisa diwakili, kecuali kuasa hukumnya. Karena yang merasakan sendiri kan pribadi yang bersangkutan, bukan orang lain,” jelas Apri Awo belum lama ini.
Menurut Apri Awo ketika diwakili maka sudah tidak memenuhi unsur, baik materil maupun non materil. Karena yang bersangkutan sendiri yang harus melaporkan secara langsung kerugian materil maupun non materil dalam bentuk laporan ke pihak kepolisian.
“Atau Kuasa Hukum nya, kuasa ini kan hanya atas nama, tapi yang melaporkan ini sesungguhnya adalah orang yang merasa tercemar kan. Tapi kalau orang lain tanpa kuasa hukum, saya kira itu cacat prosedural dan saya yakin kalau penegak hukum dalam hal ini Kepolisian menerima laporan itu kemudian melanjutkan proses pidananya saya kira cacat la,” jelas Apri.
Putra Buton Utara ini menegaskan, bahwa orang yang merasakan langsung bukan orang lain yang sibuk mengurusi itu, tapi pribadi yang bersangkutan sendiri. Kemudian konteks pencemaran nama baik itu adalah orang yang merasakan langsung bahwa orang yang bersangkutan merasa bahwa memang dia dicemarkan nama baiknya.
“Kita bisa mengukur dalamnya perasaan nya orang, sejauh mana perasaan nya orang itu terluka? Misalnya tadi RI satu, meski mereka membuatkan kali katur yang buruk tapi perasaan hati nya bisa menerima misalnya seperti itu, maka tidak merasa dicemarkan nama baiknya,” ungkap Apri Awo.
Alumni Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK) ini menemukan, bahwa jika orang lain yang membawa perasaan ini jelas akan terasa bahwa pak Gubernur itu bukan dilihat sebagai Gubernur nya tapi selaku Ali Mazi nya.
“Dan orang-orang terdekatnya itu keluarga nya, pasti orang tersinggung kalau pada posisi itu. Tapi karena posisi Ali Mazi sebagai Gubernur dan yang melakukan aksi itu adalah rakyat nya maka dia tersinggung begitu. Itu yang harus dicermati oleh penegak hukum ini, namun lebih lanjut dalam proses pencemaran nama baik, baik ITE maupun di luar non ITE sudah ada protap baru kemarin bahwa itu diselesaikan secara mediasi,” kata Apri Awo.
Apri Awo berharap semoga dalam penafsiran nya nanti utamanya Kepolisian yang menerima laporan itu bisa melakukan klarifikasi dan tahapan mediasi soal pencemaran nama baik. Dan UU ITE memang jika melihat diri subyek hukum nya bukan yang merasa dirugikan secara materil maupun non materil dalam konteks pencemaran nama baik yang melakukan pengajuan laporan, tapi dalam proses di Kepolisian menerima laporan itu mencari solusi nya dalam proses ini. Artinya tidak juga yang dirugikan, laporan tetap diterima tapi dalam konteks meja hijau sudah melalui proses hukum.
“Jadi untuk bisa memenuhi unsur pencemaran nama baik harus Pak Gubernur sendiri yang melapor, atau melalui kuasa hukumnya. Pencemaran nama baik itu kan terjemahan nya barang siapa dengan sengaja melakukan pencemaran,” ungkap Apri Awo.
Apri menjelaskan bahwa yang dimaksud pencemaran nama baik itu kan dalam konteks kemarin kalau dibuka UU di pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi: (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya. “Di pasal 315 itu kapan begitu? Tapi ini kan dalam konteks perbuatan, kemudian masyarakat menilai ketika menjadi wacana di media yang disajikan dalam bentuk tertulis, selanjutnya dalam konteks perbuatan nya adik-adik kita waktu itu melakukan aksi,” kata Apri.
Meski demikian, Apri kembali menegaskan bahwa pada intinya kembali pada pihak yang merasa dirugikan. Apakah kita kembali mengunakan rasa, lalu rasa orang yang dicermarkan nama baik nya kembali di ceguh kemudian dicermarkan. “Saya juga belum tahu siapa yang melaporkan, apakah Pak Gub langsung atau kerabat nya? Kalau kerabatnya itu bisa di SP3 sih,” kata Apri Awo.
Apri Awo juga menilai, dalam laporan tersebut harusnya dibedakan dua hal. Pertama Ali Mazi sebagai individu dan kedua, Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra selaku pemerintah. Mungkin saja dalam posisi Ali Mazi sebagai individu, tentu tidak bisa juga disalahkan kerabatnya melaporkan hal itu.
“Tapi ketika melihat Ali Mazi sebagai Gubernur, maka lain lagi kacamata yang dipakai bahwa yang melakukan aksi itu adalah rakyat nya Gubernur. Artinya kami sudah kaji, bahwa misalnya waktu SBY dibuatkan kali katur gambar kerbau, tapi posisi itu SBY tidak melaporkan karena memang dia sebagai Presiden,” katanya.
Sehingga menurut Apri Awo tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Tuntutan masyarakat Buton Utara hari ini adalah janji Politik Gubernur Sultra Ali Mazi ketika mencalonkan sebagai Gubernur bersama Lukman Abunawas, bahwa ketika jadi Gubernur Sultra bahwa jalan Buton Utara itu ke Baubau itu akan diaspal. “Mereka ini menagih janji, dan akan terbuka maka saya lihat tak mungkin la Ali Mazi dalam kapasitas dia sebagai Gubernur ketika ditagih janji nya kemudian dia melaporkan orang yang menagih janji,” ungkap nya.
Apri Awo juga merasa heran dan mempertanyakan mengapa harus ditangkap? Jika ditangkap, berarti penyidik sudah mengantongi dua alat bukti yang sah. Pertanyaan nya, alat bukti mana? Mungkin foto alat bukti waktu aksi, selanjutnya ada surat aksi kemarin selaku SDP nya, itu mungkin dua alat bukti tertulis. Tapi kembali ke pokok masalahnya, belum bisa dipastikan apakah pencemaran nama baik atau tindak pidana lain.
“Dan tinjauan Kepolisian apa ketika orang dihina, lalu orang lain bisa melaporkan itu? Sementara itu bukan pidana umum begitu. Itu tindak pidana aduan, maka dalam dilik aduan yang merasa dirugikan la yang berhak membuat laporan atau diwakili oleh kuasa hukumnya,” tegas Apri Awo.
Apri mengatakan kuasa hukum pun hadir di sana sesuai permintaan klaian, bukan pribadi kuasa hukum. Sehingga saya mempertanyakan, apakah yang melaporkan itu adalah kerabat dalam tanda petik keluarga? Atau dia sebagai kuasa hukum. “Kalau kuasa hukum, lain cerita, bisa proses. Kemudian dengan karprotes jastis ini Kepolisian tidak serta merta sih melakukan proses gelar perkara. Mudah-mudahan itu tahap klarifikasi, dari pihak pelapor kemudia terlapor, lalu biasanya dicari proses penyelesaian di Kepolisian,” katanya. (ein/pks)
Comment