Melirik Ekspansi PT Tiran Mineral di Blok Waturambaha

“Entah Sampai Kapan Debu Tambang Akan Berubah Menjadi Asap Smelter”

Catatan Direktur eXplor Anoa Oheo: Ashari

KONUT, EDISIINDONESIA – Masyarakat Kabupaten Konawe Utara (Konut) Sulawesi Tenggara (Sultra) sudah cukup bersabar melihat ekspansi PT Tiran Mineral, mengelolala sumber daya nikel di daerah mereka. Namun entah sampai kapan debu tambang akan berubah menjadi asap Smelter, yang sudah lama diimpikan masyarakat akan terwujud.

Aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Tiran di Desa Waturambaha Kecamatan Lasolo Kepulauan, telah memancing beragam argumentasi penolakan.

Rencana awal, perusahaan milik mantan Mentri Pertanian, Andi Amran Sulaiman ini telah mewacanakan pembangunan kawasan industri pembangunan smelter di wilayah tersebut.

Namun, fakta yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, aktivitas penambangan nikel malah dilakukan PT Tiran di lahan eks PT Celebes Pasific Mineral yang telah diputihkan Pemerintah, yang luasnya sekira 500 hektar.

“Inilah yang menjadi pertanyaan kami, awalnya mau bangun kawasan industry, tapi fakta dibelakang melakukan aktivitas penambangan. Inikan kontradiksi antara wacana dan kenyataan di lapangan,” tegas Ashari.

Niatan Pemerintah Daerah (Pemda) menggandeng investor melalui  PT Tiran Mineral untuk mendesain, merencanakan hingga pengurusan perizinan rencana pembangunan kawasan industri smelter sangat disambut dengan tangan terbuka.

“Hanya yang menjadi ranc,  PT Tiran Mineral mengkapling area lahan IUP eks PT Celebes Pasific Mineral yang telah diputihkan oleh Dinas ESDM Sultra. Lalu PT TM menguasainya seluas 500 hektar. Padahal perlu diketahui untuk menguasai izin usaha pertambangan itu perlu dilakukan proses lelang atau tender,” jelas Alumni Fisip UHO itu.

“Sementara, seperti kita ketahui bersama, ESDM Sultra tidak pernah mengumumkan dalam proses tender itu diwilayah Waturambaha, saat kewenangan soal pertambangan masih di Provinsi,” sambungnya.

Lokasi eks PT CPM yang kini dikuasai oleh PT TM memiliki potensi dan kandungan nikel. Berdasarkan regulasi undang-undang pertambangan, pembangunan sarana dan prasarana di atas lahan yang memiliki potensi cadangan nikel akan mustahil terwujud, apalagi rencana pembangunan smelter.

“Kalau memang mau dipaksakan membangun pabrik di sana (Waturambaha, red), mungkin saja bisa dilakukan, tapi butuh waktu yang cukup lama. Karena perlu diambil dulu ore nikelnya, nanti habis baru bikin pabrik. Untuk mengeluarkan potensi nikel itu butuh waktu sekitar 10 tahun itu waktu paling cepat,” tegas Ashari.

Ashari juga mempertanyakan eksistensi PT Tiran untuk membangun kawasan industri smelter di wilayah Desa Waturambaha. Dudukan tiang pancang pembangunan smelter belum terlihat, melainkan yang terjadi adalah aktivitas kegiatan penambangan nikel.

“Yang menjadi kekeliruan, yang tadinya titik kordinat pembangunan kawasan industri smelter berada di Desa Waturambaha justru bergeser di Desa Molore Kecamatan Langgikima, yang masuk diwilayah salah satu IUP perusahaan,” ujarnya.

Padahal dari beberapa pernyataan pihak yang berkompeten menyebutkan, di Desa Waturmbaha yang dilakukan adalah pematangan lahan.

“Tapi yang terjadi adalah aktivitas penambangan di sana, inikan kontradiksi. Terlepas dia punya IUP atau tidak. Tetapi yang harus diclearkan adalah mau menambang atau mau bangun kawasan industri di Waturambaha,” seru Ashari

“Sekali lagi saya ulangi tidak mempersoalkan ada izin lengkap atau tidak, mau legal atau ilegal silahkan publik menilainya atau ingin cari tahu. Lagipula Pemda atau Bupati Konut pasti lebih tau prosesnya sudah sejauh mana. Kami tidak ingin sikap kritis ini di nilai politis, tujuannya tidak lain lebih pada sekedar ingin melihat nyata bahwa ada juga tungku smelter berasap di kampung kami,” tegasnya.

Secara kelembagaan maupun pribadi, Ashari tidak menolak rencana pendirian pabrik smelter. Pasalnya, kehadiran pabrik smelter sangat dirindukan oleh Konawe Utara.

Berangkat dari kekhawatiran deretan kegagalan pembangunan smelter di Konut menjadikan harus memproteksi perusahaan yang benar-benar dapat mewujudukan pembangunan smleter di Bumi Oheo.

“Sudah ada beberapa contoh perusahaan yang sudah melakukan peletakan batu pertama pembangunan smelter yang berakhir gagal. Apakah akan kembali lagi dengan kegagalan serupa? Tentu yang kita inginkan tidak demikian,” pungkas Ashari. (red/EIn)

Comment