KRIP: Mimpi Buruk Nelayan, Petani, dan Anoa di Balik Tidur Nyenyak Oligarki

Pegiat Lingkungan Hidup Sultra
Pengurus DPP AMPI Bidang Kehutanan & Lingkungan Hidup

EDISIINDONESIA.id- Pemerintah, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, mengeluarkan regulasi hukum terkait Program Strategis Nasional (PSN) sebagai upaya mempercepat peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

Regulasi ini telah beberapa kali mengalami perubahan sejak pertama kali dibentuk pada tahun 2016 melalui Perpres No. 3 Tahun 2016, yang kemudian diubah dengan Perpres No. 58 Tahun 2017, Perpres No. 56 Tahun 2018, dan Perpres No. 109 Tahun 2020. Dengan alasan meningkatkan nilai tambah ekonomi nasional, menciptakan kemandirian industri, menambah lapangan kerja, meningkatkan pendapatan negara, dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global melalui pengolahan nikel menjadi produk bernilai tinggi seperti baterai kendaraan listrik, dibentuklah hilirisasi industri nikel.

Kolaka Resource Industrial Park (KRIP) ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Permenko Perekonomian No. 6 Tahun 2024, perubahan kelima atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 7 Tahun 2021, dengan target total nilai investasi sebesar 150 triliun rupiah. KRIP terletak di Kabupaten Kolaka Utara, mencakup tiga kecamatan: Batu Putih, Tolala, dan Porehu.

KRIP dalam Pusaran Oligarki

Euforia Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka Utara dalam mendorong percepatan pembangunan smelter, bahkan menawarkan bantuan dalam proses perizinan, menimbulkan kecurigaan. Regulasi yang tertuang dalam Perda Kabupaten Kolaka Utara No. 3 Tahun 2022 tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2022–2042 semakin memperkuat dugaan tersebut.

Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa industri nikel meliputi:

1. Biji Nikel
2. Ferro Nikel
3. Nikel Matte
4. Nikel Murni atau NPI
5. Stainless Bahan Konstruksi

Pada hakikatnya, penyusunan Perda oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara diduga tidak berlandaskan prinsip-prinsip filosofis dan sosiologis, melainkan kepentingan pribadi dan oligarki untuk memperkaya diri.

Penulis mencurigai adanya kepentingan bisnis beberapa pejabat Pemda yang memiliki hubungan kekerabatan dengan nama-nama yang terdaftar di Portal MODI ESDM dan MOMI ESDM pada beberapa Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu dan pasir.

Penelusuran menemukan bahwa ada empat IUP komoditas batu gamping dan pasir yang terhubung dengan kekerabatan pejabat Pemda Kabupaten Kolaka Utara.

Dalam industri pengolahan biji nikel, batu gamping dan pasir tidak hanya digunakan sebagai bahan baku konstruksi bangunan smelter. Batu gamping atau batu kapur (CaCO3), batuan sedimen yang tersusun dari mineral kalsit dan aragonit, juga digunakan sebagai flux untuk mengikat senyawa pengotor non-logam dalam biji nikel laterit.

Spesifikasi batu kapur yang digunakan adalah ukuran 20-30 mm, kandungan CaO minimal 45%, dan CaCO3 minimal 70%. Hal ini sesuai dengan jurnal oleh U. Herlina, F. Nurjaman, A.S. Handoko, dan A. Shofi (2020) yang berjudul “Analisis Tekno Ekonomi Teknologi Pengolahan Bijih Nikel Laterit Menjadi Nickel Pig Iron (NPI) Menggunakan Hot Blast Cupola Furnace”. Oleh karena itu, percepatan investasi ini diduga merupakan upaya segelintir pejabat di Pemerintahan Kabupaten Kolaka Utara untuk memperkaya diri.

Lembaga penegak hukum sebaiknya melakukan pemeriksaan terhadap pejabat Pemda yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik IUP batu gamping dan pasir yang tersebar di Kabupaten Kolaka Utara karena membuat regulasi hukum atas kepentingan pribadi.

Ancaman terhadap Keberlangsungan Hidup Petani dan Nelayan

Kawasan industri KRIP menggandeng Huayou Group dalam pembiayaan dan memiliki unit bisnis pemurnian biji nikel yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, baik yang sudah beroperasi maupun dalam proses pembangunan. Mereka menggunakan metode teknologi pemurnian Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan High Pressure Acid Leaching (HPAL).

Hasil penelitian dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) di beberapa kawasan industri pemurnian biji nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menunjukkan bahwa tidak satupun unit usaha Huayou Group yang ramah terhadap lingkungan, petani, dan nelayan. Kondisi yang sama terjadi, yaitu penurunan kualitas air, tanah, dan udara yang menyebabkan penurunan hasil pertanian secara drastis.

Bahkan, beberapa daerah di Sulawesi tidak dapat ditanami lagi karena telah tercemar limbah. Wilayah dengan radius yang jauh dari kawasan industri juga terkena dampak limbah debu atau polusi udara dari pembakaran tungku.

Limbah debu halus dari smelter nikel mengandung partikulat dan logam berat seperti timbal yang merusak tumbuhan dan menyebabkan penyakit pernapasan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pneumonia pada manusia. Selain itu, alergi nikel juga dapat menyebabkan reaksi kulit seperti dermatitis kontak. Teknologi HPAL yang digadang-gadang lebih ramah lingkungan ternyata memiliki dampak yang sama dengan teknologi RKEF terhadap limbah yang dihasilkan.

Kawasan Industri KRIP yang tersebar di tiga kecamatan di Kabupaten Kolaka Utara didominasi oleh masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Dengan dalih kesejahteraan dan iming-iming lapangan pekerjaan, serta ancaman pidana karena menghalangi investasi, petani terpaksa melepas lahan pertanian mereka dan digantikan dengan bangunan pabrik.

Pada sektor perikanan, Kabupaten Kolaka Utara memiliki luas perairan sekitar ±12.376 km², yang seluruhnya berada di sebelah timur Teluk Bone. Pembangunan KRIP akan mematikan pendapatan nelayan.

Limbah yang dihasilkan mencemari air laut, memaksa nelayan mencari ikan jauh dari lepas pantai karena area pesisir telah tercemar limbah pabrik smelter. Selain itu, lalu lintas perairan laut akan padat oleh tongkang-tongkang pengangkut material.

Profesi nelayan di Kabupaten Kolaka Utara bisa hilang karena area tangkap nelayan tradisional berada di teluk, bukan laut lepas, sehingga sejak awal memang sudah sempit karena kondisi geografis wilayah lautnya.

Dengan dua pertimbangan ini, petani dan nelayan sebaiknya bersatu menolak pembangunan smelter sebelum adanya pembebasan lahan dan peletakan batu pertama oleh perusahaan.

Anoa: Terancam, Sisa Logo Provinsi Sulawesi Tenggara

Anoa (Bubalus sp), atau kerbau kerdil, adalah kerbau endemik Sulawesi Tenggara yang hidup di Pulau Buton dan daratan Sulawesi Tenggara. Terdapat dua spesies anoa, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa pegunungan (Bubalus quarlesi), yang dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, bentuk tanduk, tekstur bulu, dan habitat. Anoa dataran rendah lebih besar dan memiliki tanduk melingkar, sedangkan anoa pegunungan lebih kecil dan memiliki tanduk yang mengarah ke belakang.

Hewan endemik Sulawesi Tenggara ini juga terdaftar sebagai satwa terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan Appendix 1 berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Selain dilindungi, anoa juga dilarang untuk diperdagangkan. Di Indonesia, anoa termasuk daftar satwa liar prioritas konservasi nasional.

Di Kabupaten Kolaka Utara, anoa banyak ditemukan di sekitar Gunung Mekongga dan dataran tinggi Kecamatan Porehu dan Tolala, dengan spesies Bubalus quarlesi.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) mengidentifikasi bahwa populasinya mengalami penurunan drastis. Selain perburuan liar akibat kurangnya edukasi, faktor utama penyebabnya adalah hilangnya habitat asli akibat aktivitas pertambangan dan perambahan hutan untuk pembukaan lahan industri.

Anoa Bubalus quarlesi adalah hewan diurnal yang aktif mencari makan saat udara sejuk dan beristirahat saat panas terik. Dengan masuknya KRIP, industri pemurnian biji nikel akan semakin mempersempit area hidup dan mengancam populasi anoa.

Pembukaan lahan kawasan industri yang masif menghilangkan sebagian fungsi hutan sebagai evapotranspirasi, meningkatkan suhu permukaan, dan memperparah kondisi dengan limbah asap dari tungku pembakaran. Masuknya industri pemurnian biji nikel di Kabupaten Kolaka Utara sama halnya mendukung kepunahan hewan endemik anoa yang dilindungi, dan yang tersisa hanya tinggal logo Pemda Sulawesi Tenggara.

Revisi Permenko Perekonomian No. 6 Tahun 2024

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hal fundamental yang mendukung keberadaan kawasan industri nikel di Kabupaten Kolaka Utara.

Selain hanya untuk kepentingan oligarki, pembangunan ini juga akan berdampak buruk pada keberlangsungan hidup petani dan nelayan tradisional, serta mengancam populasi anoa. Pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebaiknya merevisi Permenko No. 6 Tahun 2024 nomor urut daftar PSN 116 dan 117.

Dalam mendukung Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran, membangun dari desa untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan, serta mendukung ketahanan pangan nasional, pemerintah seharusnya mendorong peningkatan nilai tambah hasil pertanian dengan hilirisasi hasil pertanian masyarakat di Kabupaten Kolaka Utara.(**)

Tulisan ini adalah kirim dari sobat edisiindonesia.id, isi tulisan ini sepenuhnya di perganggung jawabkan oleh penulis.

Comment