RUU Kejaksaan Berpotensi Lindungi Pelanggaran Hukum di Internal Kejaksaa

EDISIINDONESIA.id – Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Mahfud MD menyoroti ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan.

Seperti diketahui, pada RUU itu mengharuskan izin Jaksa Agung sebelum seorang jaksa diperiksa oleh kepolisian dalam kasus tindak pidana.

Dikatakan Mahfud, aturan semacam ini justru berpotensi melindungi pelanggaran hukum di internal Kejaksaan.

“Gak boleh begitu, itu berarti banyak main di situ,” ujar Mahfud dalam keterangannya (18/2/2025).

Ia menegaskan bahwa tidak boleh ada perlakuan istimewa terhadap institusi mana pun dalam penegakan hukum.

Jika aturan ini diberlakukan, maka kepolisian pun seharusnya mendapatkan perlindungan serupa, yang tentu tidak sejalan dengan prinsip keadilan.

“Misalnya, kalau polisi korupsi, bisa dong ditangkap Kejaksaan Agung juga. Gak boleh dilindungi oleh atasannya,” tambahnya.

Mahfud juga mengingatkan bahwa Kejaksaan Agung memiliki kewenangan menyelidiki tindak pidana korupsi secara langsung tanpa perlu izin dari institusi lain.

Maka, dalam kasus tindak pidana umum yang dilakukan oleh seorang jaksa, seperti penipuan atau penganiayaan, tetap harus diproses oleh kepolisian tanpa perlu persetujuan dari Jaksa Agung.

“Kalau kesalahannya tindak pidana umum, ya polisi yang menangani. Masa kalau jaksa menganiaya orang, harus izin Jaksa Agung dulu?” tegasnya.

Lebih lanjut, Mahfud menilai bahwa permintaan izin ke Kejaksaan sebelum memproses jaksa yang diduga melakukan tindak pidana adalah langkah yang berlebihan.

Ia juga mengingatkan bahwa meskipun Kejaksaan saat ini sedang menunjukkan performa yang baik, tidak ada jaminan bahwa sistem ini akan terus berjalan dengan baik di masa depan.

“Kita harus proporsional. Sistem yang kita bangun ini sudah bagus, hubungan tata kerja antar-institusi penegak hukum juga sudah jelas. Yang jelek itu pelaksanaannya,” kuncinya.

Sebelumnya, Pegiat media sosial Jhon Sitorus menyoroti potensi bahaya dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan yang dinilainya dapat menjadikan institusi tersebut sebagai lembaga superbodi.

Dikatakan Jhon, terdapat beberapa pasal dalam RUU tersebut yang berpotensi melemahkan prinsip akuntabilitas hukum bagi para jaksa.

“Bahaya, Kejaksaan bisa jadi lembaga superbodi dalam RUU Kejaksaan yang baru,” ujar Jhon dalam keterangannya kepada fajar.co.id (14/2/2025).

Jhon mengkritisi Pasal 8 Ayat 5 dalam RUU Kejaksaan yang menyebutkan bahwa seorang jaksa hanya bisa diproses hukum jika mendapat izin dari Jaksa Agung.

“Pasal 8 ayat 5 misalnya, Jaksa yang melanggar hukum hanya bisa diproses jika ada izin dari Jaksa Agung,” cetusnya.

Ia menilai aturan ini berpotensi melindungi jaksa yang melakukan pelanggaran hukum dari pertanggungjawaban yang seharusnya mereka hadapi.

“Artinya, jika ada Jaksa yang korup, Main kasus, mafia maka tidak bisa langsung dihukum. Semua tergantung restu bos mereka,” Jhon menuturkan.

Sebagai contoh, ia menyinggung kasus jaksa di Batubara yang diduga melakukan pemerasan terhadap guru SD tetapi hanya dikenai sanksi mutasi, bukan hukuman pidana.

“Jaksa pemeras guru SD cuma dapat mutasi, bukan hukuman pidana,” sesalnya.

Ia juga menyinggung kasus Jaksa Pinangki, yang meskipun terjerat kasus korupsi, tetap mendapatkan vonis ringan.

“Jaksa Pinangki bahkan hanya divonis ringan, seperti main sandiwara dan drama saja,” tambahnya.

Jhon bilang, hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah supremasi hukum di Indonesia.

Ia mempertanyakan apakah kebijakan ini dibuat untuk memperkuat hukum atau justru memberikan jaksa kekuasaan yang terlalu besar, bahkan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.

“Jadi, ini supremasi hukum atau jangan-jangan supremasi Jaksa sesuai pesanan politik?,” kuncinya. (edisi/fajar)

Comment