KOLAKA, EDISIINDONESIA.id – Aksi unjuk rasa Jaringan Pemerhati Investasi Pertambangan (JPIP) di depan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI beberapa waktu lalu, yang menuduh Direktur Utama Perumda Aneka Usaha melakukan korupsi, dinilai keliru dan salah alamat. Aksi tersebut menuding direktur utama melakukan korupsi, membandel, dan “kapatuli”.
Kepala Bagian Humas dan Legal Perumda Aneka Usaha Kolaka, Herman Syahruddin, didampingi Ketua Teknik Tambang (KTT), Ishak Nurdin, menjelaskan bahwa seharusnya JPIP berunjuk rasa di Kementerian Keuangan.
Permasalahan yang sebenarnya adalah belum diterbitkannya e-billing untuk pembayaran sanksi administrasi Perumda Aneka Usaha.
“Tuduhan korupsi, pembangkangan, dan ketidakpatuhan oleh JPIP tidak berdasar,” tegas Herman dalam keterangan pers, Senin (3/2/2025).
“Dana untuk membayar sanksi administrasi kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI sudah siap, tetapi kami tidak bisa membayar karena e-billing-nya belum diterbitkan. JPIP seharusnya mendesak Kementerian Keuangan untuk menerbitkan e-billing tersebut.”
Herman juga menyayangkan pemberitaan di sejumlah media Kendari, Sulawesi Tenggara, yang dinilai tendensius dan tidak berimbang karena tidak melakukan konfirmasi kepada Perumda Aneka Usaha sebelum publikasi. Hal ini bertentangan dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Perumda Aneka Usaha mengakui adanya sanksi administrasi dari Kemenhut RI sebesar Rp 19 miliar. Namun, terdapat perbedaan perhitungan antara Kemenhut dan Perumda Aneka Usaha. Perusahaan telah mengirimkan surat keberatan dua kali kepada Dirjen Planologi Kemenhut dan menerima tanda terima surat tersebut.
Pada 12 Januari 2024, Biro Hukum Kemenhut RI mengirimkan surat konfirmasi terkait keberatan tersebut. Perbedaan perhitungan muncul karena Kemenhut mencatat adanya pembukaan lahan seluas 56 hektar yang dilakukan pihak tak dikenal, dan membebankan hal tersebut kepada Perumda Aneka Usaha.
Pada 27 Juli 2024, Biro Hukum Kemenhut RI mengundang lima perusahaan, termasuk Perumda Aneka Usaha, untuk membahas hal ini. Perumda Aneka Usaha telah memaparkan data dan meminta pengkajian ulang, namun hingga kini belum ada tanggapan.
Karena masalah ini berlarut, dan kewajiban kepada negara harus dipenuhi, pada 12 Desember 2024, Direksi Perumda Aneka Usaha secara resmi mencabut keberatan dan mengajukan permohonan penerbitan e-billing. Namun, e-billing tersebut belum diterbitkan hingga saat ini.
“Perumda Aneka Usaha Kolaka selalu taat membayar kewajiban kepada negara,” pungkas Herman.(**)
Comment