KENDARI, EDISIINDONESIA.com – Acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2022 direncanakan akan dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama para menteri, duta besar dan tokoh pers nasional.
Seremoni kegiatan yang akan dilaksanakan di halaman Kantor Gubernur Sultra di Kelurahan Anduonohu, Kecamatan Poasia, Kota Kendari, pada 9 Februari 2022.
Sebelum acara puncak, sejumlah rangkaian kegiatan akan dilaksanakan seperti halnya Presiden yang dijadwalkan akan melepas hewan liar hewan langka yaitu Anoa, Rusa dan Kakatua di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.
Setelahnya akan melakukan pencanangan gerakan nasional rehabilitasi mangrove di pesisir Teluk Kendari.
Namun jelang seremonial bersejarah tersebut berjalan, Aliansi Mahasiswa Sadar Investasi (ALIMASI) Sultra memberi perhatian terhadap beberapa isu lingkungan dan menyampaikannya melalui aksi unjuk rasa di beberapa titik di Kota Kendari, Senin (31/1/2022).
Aliansi ini sendiri merupakan gabungan dari GPM Sultra, Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi, Pusaka Gerhana Sultra, FL2MI Sulawesi dan Menteri Pergerakan Mahasiswa.
Dimana sorotan dimulai dari dugaan pembiaran pemusnahan hutan Mangrove di ruang terbuka hijau Teluk Kendari.
Mangrove baru yang telah tumbuh dinilai tidak mampu dijaga bahkan dibiarkan ditebang untuk aktifitas bisnis.
Padahal larangan pembabatan pohon di pinggir laut atau Mangrove itu tertuang dalam pasal 50 Undang-Undang (UU) Kehutanan dan diatur masalah pidananya pada pasal 78 dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
Rangkaian kegiatan lain saat HPN yang akan digelar di Kota Kendari, diantaranya Seminar Nasional Pertambangan, Pariwisata, juga Lingkungan Hidup, yang sebelumnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) oleh para pakar untuk melahirkan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah. Seminar akan dihadiri sejumlah menteri terkait dan stakeholder di bidang masing-masing.
Ironisnya, setiap tahun deforestasi dan degradasi hutan terus meningkat di Sultra akibat pembiaran penambangan di lokasi koridor.
Asrul Syawal dari GPM Sultra menyebut beberapa perusahaan juga dinilai bahkan memaksakan melakukan operasi produksi tambang tanpa memiliki IPPKH.
Selain itu pihaknya menyoroti rangkaian kegiatan HPN terkait pelaksanaan Forum Investasi oleh Kemenko Marves, Menteri BKPM, bersama para Dubes, KADIN, pemerintah daerah dan para pengusaha nasional maupun lokal.
“Negara dan daerah manapun termasuk Sultra welcome dengan investasi tapi kalau investor tidak menunjukan niatan baik seperti VDNI yang menunggak pajak air permukaan Rp26,3 miliar, belum lagi beberapa perusahaan tambang nunggak pajak kendaraan bermotor alat berat, pajak bahan bakar kendaraan bermotor maka investasi macam ini mesti dievaluasi dan investor yang kurang ajar harus dicabut izin usahanya,” ujar Asrul.
Lanjut kata dia, hal lain yang harus dicermati bersama adalah perbedaan perhitungan kadar bijih nikel dari permainan oknum di manajemen PT. OSS berpotensi merugikan penerimaan PNBP.
Hal terungkap salah seorang karyawannya berinisial ZN membeberkan kejahatan yang diduga dilakukan Devisi LAB PT OSS.
“Selama ini data yang di serahkan pihak LAB ke HOD itu di duga tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya beberapa diantaranya ada yang kadar 1,0 persen, namun ketika laporan hasil analisa diserahkan ke HOD, kadar yang awalnya tidak memenuhi standar itu tiba-tiba saja berubah menjadi 1,5 hingga 1,7 persen atau sebaliknya,” timpal Asrul menjelaskan.
Hirman dari Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi menambahkan hal ini merupakan perbedaan yang mengundang tanda tanya karena sangat jauh.
“Ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian, bahkan sudah merugikan pengusaha di sektor hulu pertambangan, juga memengaruhi penerimaan negara,” jelas Hirman.
Penentuan kadar biji nikel yang lebih rendah dapat memengaruhi penerimaan royalti bagi negara.
“Misalnya, selisih kadar 0,5 persen dikalikan dengan harga patokan mineral (HPM), lalu dikalikan dengan nilai tukar rupiah, kemudian dikali total produksi 2021 yang berkisar 2,2 juta metrik ton,” papar Hirman.
“Estimasi kerugian negara dari berkurangnya penerimaan royalti bisa setara Rp338,8 miliar per tahun 2021. Ini baru dari royalti,” ujarnya.
Fakta mencengankan di sektor pertambangan ini, khususnya nikel diduga terdapat kasus yang mengarah kepada illicit financial flow (IFF).
Kasus itu terkait perpindahan dana gelap ke negara lain, yang didapatkan, ditransfer atau digunakan secara ilegal dalam lintas batas yurisdiksi.
Berdasarkan data Global Financial Integrity, rata-rata IIF pada kurun 2008–2017 mencapai US$43 miliar. Hal tersebut berpotensi merugikan negara dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.
Adanya indikasi IFF terjadi di Tanah Air, karena adanya data impor bijih nikel di China senilai US$4 juta pada 2016 yang berasal dari Indonesia.
“Padahal, sejak 2014 pemerintah melarang ekspor bijih nikel sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) nomor 1/2014. Dengan asumsi nilai tukar Rp14.000 per dolar AS, nilai ekspor bijih nikel ke China itu setara dengan Rp61 miliar,” urai Hirman.
Dengan tarif royalti 5 persen, negara seharusnya memperoleh penerimaan Rp3.02 miliar. Indonesia menjadi negara yang dirugikan dari praktik IIF.
“Olehnya itu, pihak berwewenang harus mengusut tuntas permainan jahat oknum manajemen PT.OSS. Konklusinya, Investasi yang diinginkan harus memberikan dampak positif khususnya bagi daerah, pengusaha lokal, maupun masyarakat lokal,” pungkasnya.
Aliansi mahasiswa menyebut peningkatan PAD melalui kepatuhan korporasi membayar pajak daerah, bermitra dengan pengusaha lokal seperti suplai kebutuhan pokok karyawan di perusahaan dan memberikan sharing knowledge kepada tenaga kerja lokal demi masa depan yang profesional. (**)
Reporter: Safar
Comment