Dilanda Kekeringan, Harga Air Bersih Capai Rp 450 Ribu Pertangki

Ilustrasi kekeringan/Foto: Int

Jadi daerah langganan kekeringan, menjadikan masyarakat di Kecamatan Wonosamudro Kabupaten Boyolali Jawa Tengah (Jateng), harus menanggung masalah kekurangan air bersih setiap tahunnya.

Sumber air bersih di daerah itu pasti mati setiap musim kemarau tiba. Kondisi ini membuat warga dengan terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli air bersih yang harganya mencapai Rp 450 ribu per tangki.

Camat Wonosamudro, Joko Suseno, membenarkan, air bersih menjadi permasalahan setiap tahun. Begitu kemarau tiba, warga harus membeli air dari pengusaha air keliling. Bahkan harga per tangkinya semakin mahal.

“Harganya mencapai Rp 450 ribu pertangki. Isinya 5 ribu liter. Karena air bersih diambil dari Kecamatan Karanggede,” ujar camat.

Di wilayah Wonosamudro memang sulit mencari sumber air. Titik air sulit ditemukan bila membuat sumur dalam, sehingga ini menjadi masalah klasik dan sampai saat ini belum ada solusi jangka panjang.

Joko menjelaskan, ada 10 desa di Wonosamudro. Dari 10 desa itu, ada tujuh desa yang masuk daerah rawan kekeringan. Yakni, Desa Bercak, Bengle, Garangan, Gunungsari, Kalinanas, Repaking dan Jatilawang. Sedangkan tiga desa lainnya, Kedungipilang, Ngablak dan Desa Gilirejo masih bisa mengkaver sendiri.

“Kalau Desa Jatilawang, sebagian wilayahnya masih bisa mengandalkan sumber air atau sumur. Sedangkan daerah lain memang minim sumber air. Saat kemarau, warga sering membuat sumur di dasar sungai yang mengering,” bebernya.

Sedangkan bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Boyolali cukup membantu warga. Terutama menghemat biaya pembelian air bersih.

Joko juga sudah mengajukan suplai air bersih dari PDAM. Sayangnya rencana tersebut terkendala sulit mencari air bersih dari daerah terdekat.

Beberapa warga juga memanfaatkan jaringan pamsimas. Namun, belum bisa mengkaver seluruh warga.

Kemudian, jika mengambil dari Waduk Kedungombo juga sulit. Karena terbentur perizinan dan kondisi medan lantaran jaraknya cukup jauh. Ditambah lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk pengolahan air bersih sangat tinggi.

“Ya jadinya terpaksa memanfaatkan air yang kurang layak. Seperti di lingkup kantor kecamatan dibuat sumur. Ternyata airnya berasa asin dan berbau karat. Maka untuk mengurangi itu, kami membuat sistem penyaringan. Namun hasilnya juga tidak maksimal,” terangnya.

Terpisah, Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) BPBD Boyolali, Widodo Munir, mengatakan, sesuai perkiraan Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tahun ini masuk kemarau basah. Yakni musim kemarau namun sesekali masih turun hujan.

Tahun ini ada enam Kecamatan yang masuk daerah rawan kekeringan yakni, Juwangi, Wonosegoro, Wonosamudro, Kemusu, Musuk dan Tamansari.

“Kami akan menggandeng perguruan tinggi untuk menyelesaikan persoalan ini. Terutama daerah-daerah yang langganan kekeringan. Kalau di lereng Merapi-Merbabu seperti Selo, Musuk dan Tamansari masih dimungkinkan untuk mencari sumber air. Tapi kalau daerah utara, akan kita cari solusinya,” terangnya. (**)

Comment