KENDARI, EDISIINDONESIA.com – Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kendari bersama Aliansi Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara (Sultra), menggelar aksi solidaritas terhadap jurnalis Nurhadi, di Pengadilan Negeri (PN) Kendari, Rabu (12/1/2022).
Aksi solidaritas tersebut digelar AJI dan IJTI menjelang sidang putusan kasus kekerasan yang menimpa jurnalis Tempo, Nurhadi.
Dalam aksi tersebut, AJI dan IJTI menyerukan agar majelis hakim menjalankan peradilan dengan seadil-adilnya, serta menjatuhkan hukuman maksimal terhadap dua terdakwa pelaku penganiayaan terhadap Nurhadi.
Sayangnya, dua oknum polisi aktif yang menjadi terdakwa dalam kasus penganiayaan Nurhadi, yakni Bripka Purwanto dan Brigadir Firman, hanya dijatuhi vonis 10 bulan penjara.
Vonis tersebut, terhitung jauh lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut terdakwa dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, serta membayar restitusi pada korban dan saksi.
“Jurnalis membantu membongkar korupsi dan ketidakadilan. Sudah sepatutnya terus memperjuangkan kebebasan pers. Kasus Nurhadi menjadi momentum kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia agar pelaku kekerasan mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya,” ungkap Ketua AJI Kendari, Rosniawati Fikri.
Wanita berhijab yang akrab disapa Ros ini juga menegaskan, AJI Kendari meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk memproses seluruh pihak yang terlibat dalam dugaan kasus penggelapan pajak di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang pernah diliput Nurhadi, yang berujung terjadinya tindak pidana penganiayaan.
Tuntutan itu lanjut Ros, tidak lepas dari kerja-kerja jurnalis yang dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pokok Pers.
Olehnya itu, kata dia, jurnalis yang bekerja mewakili publik untuk memperoleh hak atas informasi, perlu dijaga dan dilindungi. Aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan menegakkan supremasi hukum, sungguh sangat disayangkan bisa terlibat dalam kasus penganiayaan ini.
“Kami meminta kepada pihak-pihak yang keberatan dengan produk jurnalistik untuk merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dalam menyelesaikannya, bukan menempuh jalur lain, apalagi dengan aksi kekerasan, seperti kasus yang dialami Jurnalis Nurhadi,” tegas Rosniawati Fikri. (red/EIn)
Reporter: Andri Sutrisno
Comment