Pakar Hukum Ingatkan Potensi Demokrasi Otoriter akibat TNI di Jabatan Sipil

EDISIINDONESIA.id – Pakar hukum Bivitri Susanti menyoroti bahaya militerisme dalam pemerintahan melalui unggahan di media sosial.

Dikatakan Bivitri, sistem komando yang menjadi ciri khas militer tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip demokrasi yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.

“Militerisme dalam pemerintahan tidak kompatibel karena militer pasti sistem komando,” ujar Bivitri di Instagram Storynya (16/3/2025).

Tambahnya, tentara memang dilatih untuk bertempur. Jika mereka masuk pemerintahan, maka akan top down dalam mengambil keputusan.

“Kita mau bottom-up, tidak partisipatif, tidak transparan, dan sangat mungkin tidak akuntabel,” Bivitri menuturkan.

Bivitri menjelaskan bahwa militer memiliki cara berpikir dan bertindak yang dirancang untuk pertahanan dan keamanan, bukan untuk mengelola pemerintahan yang demokratis.

Ia menegaskan bahwa tugas konstitusional militer adalah menjaga pertahanan negara, dan sebaiknya tetap fokus pada peran tersebut.

“Kenapa? Itu tadi, karena cara tentara berpikir dan bertindak memang untuk defense. Dan memang bagus karena itulah tugas konstitusional mereka. Just stay there,” tambahnya.

Bivitri mengingatkan bahwa sistem komando yang hierarkis dan tertutup dapat menghambat partisipasi publik dan transparansi dalam pengambilan keputusan.

Lebih lanjut, Bivitri juga menyoroti pentingnya mempelajari sejarah kemerdekaan Indonesia untuk memahami mengapa militerisme dalam pemerintahan perlu diwaspadai.

Ia menegaskan bahwa prinsip-prinsip demokrasi harus dijaga agar tidak tergantikan oleh sistem yang otoriter.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto mengajukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Usulan revisi ini mencakup dua poin utama.

Pertama, aturan yang mewajibkan prajurit TNI yang ditempatkan di kementerian atau lembaga lain untuk pensiun dini.

Menurut Sjafrie, mereka yang sudah pensiun dini tetap harus memenuhi standar kualitas dan kemampuan sebelum menduduki jabatan di lembaga yang bersangkutan.

Kedua, dalam revisi yang diajukan, prajurit TNI aktif diusulkan dapat menempati posisi di 15 kementerian dan lembaga negara.

“Jadi ada 15, kemudian untuk jabatan-jabatan tertentu lainnya, itu kalau mau ditempatkan dia mesti pensiun,” ujar Sjafrie di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/3/2025).

Adapun 15 kementerian dan lembaga yang diusulkan dapat diisi oleh prajurit TNI aktif dalam rancangan revisi UU TNI mencakup bidang-bidang strategis seperti Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, dan Lemhannas.

Selain itu, juga mencakup Dewan Pertahanan Nasional (DPN), SAR Nasional, Narkotika Nasional, Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.

Sjafrie juga menjelaskan bahwa revisi ini tidak hanya mengatur penempatan prajurit TNI di jabatan sipil, tetapi juga mencakup tiga poin utama lainnya.

Dijelaskan bahwa kedudukan TNI dalam sistem ketatanegaraan, perpanjangan usia dinas, serta pengaturan lebih lanjut terkait posisi TNI dalam pemerintahan.

Mengenai posisi Letkol Inf Teddy Indra Wijaya yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab), Sjafrie tidak memberikan tanggapan secara langsung.

Namun, ia menegaskan bahwa dalam rancangan revisi UU TNI, prajurit aktif yang ingin menduduki jabatan di kementerian atau lembaga tertentu tetap harus pensiun terlebih dahulu. (edisi/fajar)

Comment