Catatan Demokrasi Jelang Pemilu 2024 Siapa Presiden RI ke 8?

EDISIINDONESIA.id – Di tengah arus pembangunan demokrasi, khusunya menjelang momentum pesta demokrasi di Indonesia pada 2024 mendatang, masyarakat seakan masih dihadapkan dengan persoalan etnis dan agama dalam proses pemilihan pemimpin.

Bahkan sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa para figur yang saat ini mulai bermunculan menjelang kontestasi pesta demokrasi 2024 melakukan berbagai strategi untuk menarik simpati masyarakat. Ada yang melakukan pendekatan lewat jalur keagamaan, ada pula yang aktif melakukan kegiatan sosial untuk menarik simpati rakyat, ada juga yang melakukan pendekatan ilmiah dan politis untuk dapat diterima masyarakat luas.

Sangat ironis, karena rakyat hanya disapa saat menjelang pemilu.

Namun, terlepas dari semua itu, siapapun yang nantinya akan memimpin bangsa ini harus mampu memberikan ruang yang besar dan baik bagi pembangunan demokrasi dan komitmen penegakan hukum di Indonesia.

Kita sebagai warga negara Indonesia berharap agar partai politik tidak asal dalam merekomendasi kadernya untuk maju dalam bursa kandidat Presiden atau Wakil Presiden, karena dominasi peran partai akan membuka peluang kemungkinan terjadinya “politik dagang sapi” di satu sisi, dan suburnya money politics di sisi lain seperti yang terjadi selama ini.

Karena jika hal ini masih terjadi maka bukan saja mencederai demokrasi, melainkan juga merupakan kemunduran bagi proses demokratisasi. Karena secara esensial tidak ada bedanya dengan sistem di masa lalu, ibarat pameo “lagu lama kaset baru”.

Oleh sebab itu, sosok pemimpin Indonesia ke depan haruslah sosok yang otentik (jujur, mau mendengarkan suara rakyat, apa adanya) dan tentunya harus visioner.

Sosok yang demikian inilah yang dibutuhkan guna menyelamatkan Indonesia dari keterpecah belahan dan memulihkan kondisi untuk lebih baik lagi kedepannya.

Namun demikian, realita yang ditampilkan selama ini membuat kita jadi bertanya-tanya, apakah agenda pesta demokrasi yang akan digelar di republik ini akan konsekuen dan substansial? Atau justru akan terjadi “pembantaian demokrasi” yang dilakukan secara beramai ramai oleh elit-elit politik ?

Walaupun pesta demokrasi dan pertarungan tahta tersebut masih setahun mendatang, namun suhu politik saat ini sudah mulai terasa memanas, bahkan kita semua dipertontonkan banyaknya drama politik yang seakan mengajak kita untuk menikmati dari episode ke episode.

Lantas, bagaimana sosok ideal pemimpin Indonesia mendatang? Setidaknya ada 4 variabel yang harus dipertimbangkan untuk memandang sosok pemimpin bangsa ke depan.

Pertama, sosok pemimpin Indonesia kedepan haruslah sosok yang lahir secara “historis”, bukan secara “mitologis”. Artinya pemimpin Indonesia kedepan harus mampu memahami perasaan rakyat, tidak otoriter dan arogan, tidak anti kritik, serta senantiasa memiliki komitmen penegakan hukum dan menjunjung tinggi demokrasi.

Kedua, pemimpin Indonesia kedepan haruslah memiliki integritas moral dan tentu saja legitimasi rakyat. Integritas moral disini memiliki kaitan dengan aspek religiusitas, sebab atas dasar ini seorang pemimpin meletakkan dasar kewibawaannya di mata Tuhan dan juga rakyat.

Ketiga, pemimpin Indonesia kedepan haruslah memiliki visi yang jelas (visioner), dalam konteks mampu menjawab tantangan kedepan. Harus mampu menjadi problem solver bagi setiap masalah yang muncul. Tanpa adanya visi yang jelas, mustahil akan mencapai tujuan yang diharapkan. Dan ini justru akan berakibat fatal.

Keempat, pemimpin Indonesia kedepan harus mampu menunjukkan gaya kepemimpinan demokratis-egalitarian. Artinya pemimpin kedepan harus mampu memanajemen konflik. Ia bukanlah sumber dari konflik, namun penengah dalam sebuah konflik.

Empat, hal tersebut setidaknya harus dimiliki oleh pemegang tahta Indonesia kedepan.

Lantas, dari nama-nama tokoh yang sudah mulai bermunculan saat ini, siapakah sosok yang paling tepat memimpin Indonesia?

Jawabannya tentu saja ditentukan oleh rakyat Indonesia.

Siapapun yang akan menjadi pemegang tahta bangsa ini berikutnya, ia harus mampu mementingkan persoalan masyarakat luas, bukan kepentingan kelompok atau politis. Dengan kata lain, ketika sudah terpilih sebagai pemimpin, maka harus memunculkan karakter negarawan, bukan politikus. (**)

Penulis: Gunawan Wibisono, SH
Pekerjaan: Advokat

Tulisan diatas adalah kiriman dari sobat edisiindonesia.id, isi dalam tulisan tersebut sepenuhnya di tanggung oleh penulis.

Comment