Yayasan Lambu Ina: RUU TPKS Belum Jadi Komitmen Politik Mayoritas Fraksi di DPR RI

Ilustrasi Gedung DPR. (Dok. JawaPos)

MUNA, EDISIINDONESIA.com – Potret kekerasan terhadap perempuan, baik ditingkat nasional maupun lokal, kekerasan seksual selalu menduduki porsi terbesar.

Pelaporan kekerasan seksual terus bertambah setiap tahunnya dan semakin kompleks, tidak terkecuali dimasa pandemi COVID-19.

Catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan tiga tahun terakhir, menunjukkan bahwa dalam satu jam terjadi dua hingga tiga kasus kekerasan seksual di ranah komunitas dan negara.

Demikian diungkapkan Ketua Yayasan Lambu Ina Muna, Yustina Fendrita. Ia menerangkan kasus kekerasan seksual di Sultra pada tahun 2021, yang datanya dihimpun dari lembaga layanan, terhitung sebanyak 69 kasus dengan beragam kompleksitas masalah dan jenis kasusnya.

“Mulai dari kekerasan seksual di ranah personal yaitu perkosaan sedarah, dikomunitas, pelecehan maupun kekerasan seksual di ruang cyber. Korban yang alaminya pun cukup beragam mulai dari anak-anak hingga usia lanjut,” jelas Yustina, Selasa (1/12/2021).

Dilanjutkan, jika ditilik pelaku kekerasan seksual juga beragam mulai dari kalangan kelompok miskin, PNS, oknum pejabat publik, lingkungan keluarga hingga orang tidak dikenal.

“Dalam catatan lembaga layanan penanganan kasus kekerasan seksual masih mengalami hambatan dan tantangan. Diantaranya, kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada ranah hukum tidak dapat diproses hingga dipersidangan, masih ditemukan perspektif aparat hukum belum berpihak pada korban dan lain sebagainya, hingga pada proses visum yang masih dibebankan pada korban,” bebernya.

Merespon kompleksitas persoalan kekerasan seksual diatas, lanjut dia, membutuhkan tanggung jawab negara untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual, sehingga perempuan korban mendapatkan keadilan dan pemulihan.

“Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) telah dua kali masuk dalam prolegnas prioritas, terakhir pada periode 2020-2024. Setelah melalui serangkian proses pembahasan yang cukup panjang dan mendapat masukan dari berbagai pihak, draft awal RUU ini berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),” urainya.

Untuk itu, pihaknya mengapresiasi kerja-kerja Baleg DPR RI dalam penyusunan RUU TPKS, yang prosesnya terbuka dan partisipatif, dengan melibatkan stakeholder terkait.

“Namun disayangkan pada rapat pleno di Baleg dalam rangka mengambil keputusan atas naskah draft RUU TPKS, terkendala masih minimnya dukungan fraksi. Hal ini menjadi keprihatinan kami karena RUU TPKS belum menjadi komitmen politik dan agenda prioritas mayoritas fraksi-fraksi,” timpalnya.

Atas kondisi itu, tegas Ketua Yayasan Lambu Ina, pihaknya bersama jaringan masyarakat sipil Sultra untuk advokasi RUU TPKS menyatakan sikap meminta komitmen politik semua fraksi, untuk mendukung draft RUU TPKS yang dihasilkan Baleg,

“Untuk dibahas lebih lanjut demi terwujudnya pencegahan, keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Kepentingan korban haruslah diutamakan daripada kepentingan politik,” tegasnya.

Pihaknya juga mendukung Baleg DPR RI untuk menetapkan RUU TPKS untuk menjadi RUU inisiatif DPR RI dan menyelesaikan pembahasannya paling lambat masa sidang I masa persidangan tahun 2021-2022.

“Kami meminta DPR RI untuk mengesahkan RUU TPKS pada tahun 2021, dengan memastikan subtansi RUU yang mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban kekerasan seksual, berfokus pada rumusan norma hukum untuk perlindungan dan pemulihan korban, dan menolak rumusan norma hukum yang berpotensi mengkrimininalisasi korban,” tukasnya. (**)


Reporter: Andik

Comment