EDISIINDONESIA.id – Pengamat politik sekaligus Guru Besar, Saiful Mujani, menilai wacana DPR memiliki kewenangan mencopot Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Hakim Agung bertentangan dengan prinsip trias politica.
Dikatakan Saiful, langkah tersebut akan semakin merusak tatanan hukum di Indonesia.
“Ini menyalahi prinsip trias politica kalau DPR bisa mencopot Hakim MK dan Hakim Agung,” ujar Saiful di X @saiful_mujani Jumat (6/2/2025).
Lebih lanjut, ia menyoroti lemahnya penegakan hukum di Indonesia yang menurutnya semakin mencolok akibat politisasi hukum oleh Presiden dan DPR.
“Paling rusak di negara ini adalah penegakan hukum, mencolok masalah politisasi hukum oleh presiden dan DPR,” cetusnya.
Sebagai solusi, Saiful mengusulkan agar pemilihan pimpinan lembaga penegak hukum dilakukan langsung oleh rakyat.
“Usul semua pimpinan lembaga terkait penegakan hukum (MK, MA, Kapolri, dan Jaksa Agung) dipilih langsung oleh rakyat. Biar mereka independen dari sewenang-wenang DPR dan Presiden,” tegasnya.
Meski begitu, Saiful menyadari bahwa gagasan tersebut tidak mudah direalisasikan karena pemilihan pimpinan lembaga yudikatif telah diatur dalam UUD 1945, di mana Presiden dan DPR berperan dalam penunjukannya.
“Itu hanya ide dan usul demi perbaikan hukum kita,” imbuhnya.
Ia pun menyebut bahwa penguatan lembaga yudikatif hanya bisa dilakukan melalui amandemen UUD.
“Tidak mudah karena pimpinan yudikatif itu oleh UUD ditetapkan dipilih oleh Presiden dan DPR,” terangnya.
Di sisi lain, Saiful juga menyoroti kewenangan Presiden dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang menurutnya bisa menjadi alat kesewenang-wenangan kekuasaan.
Wacana pencopotan hakim oleh DPR sendiri terus menuai polemik di kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Banyak pihak yang khawatir bahwa langkah ini akan semakin memperlemah independensi lembaga yudikatif dan memperbesar intervensi politik dalam sistem peradilan di Indonesia.
Untuk diketahui, DPR kini memiliki kewenangan untuk meninjau kinerja pejabat negara yang sebelumnya telah menjalani fit and proper test di parlemen.
Jika dalam evaluasi ditemukan kinerja yang kurang memuaskan, DPR dapat memberikan rekomendasi untuk pemberhentian.
Ketentuan ini tertuang dalam revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang telah disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa (4/2/2025).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, menjelaskan bahwa revisi ini memberi DPR hak untuk mengkaji ulang pejabat yang telah disetujui melalui rapat paripurna.
“Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR,” kata Bob di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025).
Ia menambahkan bahwa jika hasil evaluasi menunjukkan pejabat tersebut tidak bekerja sesuai harapan, DPR berhak merekomendasikan pemberhentiannya.
“Itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR. Itu kan pejabat yang berwenang, mekanisme yang berlaku itu kan pejabat yang berwenang,” ujarnya.
Dengan adanya aturan ini, DPR dapat secara berkala mengevaluasi pejabat negara yang mereka pilih, termasuk Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), serta Mahkamah Agung (MA). (edisi/fajar)
Comment