EDISIINDONESIA.id – Pengusaha industri rokok di dalam negeri mengkhawatirkan potensi semakin meningkatnya peredaran rokok ilegal di Tanah Air. Menyusul banyaknya ketidakpastian yang dihadapi industri hasil tembakau nasional.
“Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 masih menyisakan banyak ketidakpastian untuk Industri Hasil Tembakau (IHT). Dengan semakin banyaknya peraturan pengendalian IHT, ditambah meningkatnya tarif kebijakan cukai, akan memicu tumbuh dan berkembangnya rokok illegal sementara produksi rokok legal semakin tertekan,” kata Ketua Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi dalam keterangannya, Kamis (5/8/2024).
Dia mengatakan, industri hasil tembakau mendukung pemerintah menjalankan upaya pengendalian konsumsi rokok oleh anak di bawah umur sejak tahun 1999.
Sektor IHT, ujarnya, berharap kegiatan ini dapat memberikan kontribusi nyata dalam upaya pencegahan perokok anak di Indonesia.
“Perlu juga dicatat target pasar pabrikan anggota sektor IHT adalah perokok dewasa dan bukan anak-anak,” tegas Benny.
“Melalui program pencegahan perokok pemula, sektor IHT berupaya mendukung dan mengakselerasi capaian target pemerintah dalam menekan angka perokok anak di Indonesia,” tambahnya.
Hal itu, ujar dia, dilakukan dengan membangkitkan rasa tanggung jawab sosial di lingkungan masyarakat terkecil yakni keluarga, sekolah, pedagang, dan lingkungan sekitar.
“Beberapa pelaku usaha sektor IHT juga berkolaborasi dengan asosiasi ritel dalam menjalankan inisiatif program pencegahan perokok anak,” ujar Benny.
“Menjadi capaian bersama bahwa data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024 menunjukkan, presentase prevalensi perokok anak sudah turun menjadi 7,4%. Di bawah target RPJMN 2020-2024 8,7%. Dan jauh di bawah survei milik Kementerian Kesehatan sebelumnya pada tahun 2018 yaitu 9,1%,” tukasnya.
Karena itu, dia megaku prihatin dengan rencana adanya kemasan polos pada peraturan turunan PP 28 Tahun 2024.
“Masalah-masalah baru yang akan ditimbulkan akibat kebijakan Kemasan Polos. Antara lain, permasalahan tata hukum dimana pasal 435 tidak memberikan mandat kepada Kementerian Kesehatan untuk melakukan pengaturan lebih lanjut,” katanya.
Disamping itu, jelasnya, Pasal 435 PP Nomor 28 Tahun 2024 seharusnya hanya mengatur standardisasi desain dan tulisan terkait Peringatan Kesehatan (yang merujuk kepada pasal 436 dan seterusnya).
Perlu diketahui, katanya, kebijakan standardisasi kemasan adalah amanat FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) yang digunakan oleh Kementerian Kesehatan.
“Presiden Jokowi telah memberikan pernyataan di media bahwa Indonesia tidak meratifikasi FCTC karena kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia sudah sangat mumpuni,” kata Benny.
Dampak lain, ujarnya, mempercepat perubahan tren konsumsi ke produk tembakau murah, bahkan rokok ilegal yang akan semakin marak.
“Karena semakin mudahnya memalsukan produk tanpa identitas atau atribut khusus dari merek dagang,” katanya.
“Peningkatan peredaran rokok ilegal merupakan ancaman besar bagi kelangsungan pelaku usaha di sektor IHT legal. Yang akan terdampak usahanya, termasuk peritel kecil yang berjumlah lebih dari 4 juta,” ujar Benny.
Efek dominonya, tukas dia, memicu dampak negatif. Mulai dari pengurangan karyawan, penurunan pasokan bahan baku tembakau dan cengkeh dari petani lokal.
“Maupun pengurangan pasokan barang dan jasa lainnya seperti kertas, kemasan, belanja iklan dan kegiatan pemasaran, logistik,” pungkasnya. (edisi/cncb)
Comment