Utang Komunikasi Publik kepada Media Digital

Oleh: Firman Kurniawan S

Di tengah aneka hipotesa maupun keluhan pada media sosial, bidang komunikasi publik berutang banyak padanya. Dari platform yang kerap dituduh mendangkalkan kemampuan berpikir ini, banyak hal yang telah diungkapnya.

Terutama adanya agenda tak utuh ~sarat kepentingan individu maupun institusi~ yang sering disembunyikan sebagai kewajaran. Ini setidaknya saat menyimak yang terjadi di Indonesia hari-hari belakangan.

Ambil contoh: adanya seorang menteri yang meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia. Ini sebenarnya, hal yang biasa-biasa saja. Juga bukan terjadi untuk pertama kalinya. Sejak berdirinya kampus ini, siapapun dapat menempuhnya.

Asalkan taat persyaratan: punya kapasitas akademis yang terseleksi, juga tekun mengikuti dinamika berpengetahuan. Seluruhnya memang tak jarang mengurangi kenyamanan hidup. Juga tak serta merta bisa mencapai titik akhir. Banyak yang harus putus di tengah jalan. Dengan aneka penyebab. Karenanya hajat berpengetahuan, bukan milik manusia yang suka melewati jalan pintas.

Ganjaran gelar ~sarjana, magister, juga doktor~ merupakan konsekuensi yang sama lazimnya. Ibarat perjalanan, gelar jadi penanda: upaya telah bertemu tujuannya. Diraihnya doktor berarti: pengakuan kecukupan pengetahuan di tingkat itu, yang dibuktikan secara terbuka.

Namun yang terjadi pada Sang Menteri, alih-alih kekaguman dan ucapan selamat, peraihan doktornya justru diragukan publik. Intensitas perbincangannya sangat kerap. Bahkan belum reda, saat tulisan ini dibuat.

Keraguan pertama bersumber, bagaimana mungkin masa belajar Sang Menteri hanya 1 tahun 8 bulan? Sementara penempuh program doktoral lain ~juga dari berbagai perguruan tinggi ternama di dunia~ meraihnya dalam waktu tak sesingkat itu.

Lagi pula Sang Menteri tak menempuhnya purna waktu. Sebagai mahasiswa yang setiap hari duduk tekun mengikuti pembelajaran. Atau setidaknya mencurahkan waktu utamanya, meneliti obyek permasalahan yang diajukannya. Ia tak dikenal sebagai akademisi profesional, maupun berkarir sebagai peneliti. Sang Menteri adalah birokrat. Juga politisi. Waktunya telah habis tersita untuk keduanya.

Sumber keraguan lain ~dalam konteks aturan yang sedang berlaku di Universitas Indonesia~ sebelum menempuh sidang promosi, seorang kandidat doktor harus mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya di jurnal terindeks. Tujuannya, pemikiran maupun temuan yang diformulasinya, mengalami verifikasi dan validasi dari rekan sejawatnya. Bahkan sejawat dari seluruh dunia.

Sang Menteri memang mempublikasikan beberapa hasil penelitiannya. Ini ditulis bersama peneliti-peneliti lain. Namun saat dilacak dengan mesin pencari, jurnal yang memuat hasil penelitiannya tak satu tema dengan penelitian yang dipublikasikan. Ini artinya, proses verifikasi dan validasi, bukan dilakukan sejawat yang berkompetensi sesuai. Bagaimana bisa terjadi? Itu keraguannya dari kedoktoran Sang Menteri.

Sisi lain dari narasi di atas, intensifnya penggunaan media digital membentuk kesadaran soal jejak digital. Sayangnya tak selalu dipatuhi. Lewat jejak digital, informasi soal apapun mudah dikuak. Seluruhnya secara mudah dan murah.

Karenanya tak perlu lagi, tak patuh. Menyembunyikan agenda tak utuh, demi menghindari radar pelacakan publik akan sia-sia. Pada narasi ini, publik menanyakan pada Universitas Indonesia: bagaimana proses yang ditempuh Sang Menteri. Wajarkah?

Sebagai institusi publik, Universitas Indonesia harus menjawabnya. Ini tak sepele. Lantaran institusi pendidikan, merupakan aparatus yang berwenang membedakan secara sistematis: manusia berpengetahuan dari yang tak berpengetahuan.

Posisi ini berimplikasi luas. Juga dalam. Status sebagai manusia berpengetahuan ~yang kemudian disemati gelar~ tak dapat diberikan dengan cara lain, kecuali untuk manusia yang telah melewati proses berpengetahuan secara wajar.

Waktu seringkali jadi petunjuk: prosesnya berlangsung semestinya atau tidak. Ini kecuali, jika status berpengetahuan sudah senilai komoditas. Siapapun dapat memperolehnya, lewat perniagaan. Komunikasi publik yang ditempuh Universitas Indonesia, jadi tumpuan kepercayaan publik.

Komunikasi publik ~yang dijelaskan Hitesh Bhasin, 2023, dalam “Public Communication – Definition, Importance and Types” ~sebagai, komunikasi strategis yang dilakukan untuk menyampaikan ide, program, pemikiran, presentasi, data, propaganda, maupun informasi untuk keperluan lain.

Dengan sasarannya: massa, publik, pemerintah, pelajar, profesional, juga khalayak tertentu yang diinginkan. Yang sumber informasinya dapat dari institusi pemerintah, komersial maupun politik. Seluruhnya bertujuan membujuk, memotivasi, dan memberikan informasi kepada publik.

Dalam posisinya sebagai salah satu bagian dari komunikasi, aktivitas pada publik ini punya peran sentral. Utamanya dalam membentuk keterhubungan antara personal maupun institusi, dengan publiknya. Ini seraya mengubah perilaku, hingga terbangunnya kesamaan pemahaman dengan publik.

Kesamaan pemahaman yang kerap dikaitkan dengan keperluan hadirnya partisipasi publik. Personal publik membutuhkan partisipasi publik, berbentuk dukungan politik maupun komersial. Sedangkan institusi publik membutuhkannya, untuk menyokong fungsi institusi, yang tak dapat diraihnya sendiri.

United States Enviromental Protection Agency, 2024, dalam “Public Participation Guide: Introduction to Public Participation” misalnya, menyebut soal ini. Partisipasi publik merupakan unsur penting, dalam kualitas keputusan.

Unit pengambilan keputusan yang semula berunsur perancang keputusan, berkembang jadi pemangku kepentingan. Ini seiring kehadiran partisipasi publik. Keputusan jadi lebih baik. Juga berlegitimasi kuat.

Informasi penyusunnya jadi lebih lengkap, ada pandangan dari sisi lain di luar. Sisi yang kerap luput dari perhatian perancang keputusan. Jurgen Habermas, 1981, dalam “The Theory of Communicative Action” yang dalam buku aslinya berjudul “Theorie des Kommunikativen Handelns” mengemukakan hal senada. Perlu keterlibatan barbagai pihak dalam tindakan komunikasi, untuk menghasilkan produk keputusan yang dapat diterima luas.

Adapun komunikasi publik yang buruk, berimplikasi langsung pada rendahnya partisipasi publik. Ini sering dikaitkan dengan rendahnya kepercayaan dan reputasi personal maupun institusi publik, yang berujung pada sulitnya meraih partisipasi publik.

Sirkuit komunikasi publik-kepercayaan publik-reputasi personal/institusi publik-partisipasi publik, memberi pengaruh yang linier. Artinya makin tinggi kinerja komunikasi publik, menyebabkan meningkatnya kepercayaan publik. Ini terakumulasi sebagai apresiasi publik, yang diraih berupa reputasi personal maupun institusi. Pada akhirnya, seluruhnya membangun partisipasi publik yang tinggi. Komunikasi publik jadi kunci.

Dalam konteks media dan budaya komunikasi yang mengalami transformasi sangat radikal ~ini terbawa oleh intensifnya penggunaan perangkat digital~ komunikasi publik kian kompleks. Realitas yang terbentuk dalam suasana real virtuality ~sebagaimana diungkapkan Manuel Castells, 2000, dalam “The Rise of The Network Society” ~ bersifat sangat cair.

Sebuah pernyataan yang dialamatkan pada publik, yang semula dinilai sebagai kebenaran, dalam waktu singkat dihantam oleh pernyataan lain yang juga dilabeli kebenaran. Keunggulannya terletak pada kekerapan lontaran.

Di waktu singkat, hadir dua kebenaran. Padahal nilainya, saling berhadapan. Ini benar dan yang lain salah. Publik jadi ragu. Hari ini, berpijak media sosial, tak mudah lagi menentukan: pemimpin itu gagal atau berhasil.

Kita sedang bergerak maju, atau mundur. Demikian pula, doktor ini punya kapabilitas atau tidak? Seluruh kebenaran yang bahkan yang sangat jelas, bumi ini bulat dan tidak datar, mengalami pendefinisian ulang. Sayangnya sering tak lewat kondisi obyektifnya.

Publik terbebani saat harus menentukan kebenaran. Padahal di antaranya perlu untuk menciptakan partisipasi. Sementara informasi terus hadir, dan seluruhnya menuntut segera disikapi, publik frustrasi.

Diambil jalan pintas. Kebenaran akhirnya ditentukan, lewat kuantitas yang pendukungnya. Makin banyak pendukung, makin dianggap benar. Seluruhnya tak lagi berpijak pada faktanya. Tapi pada bilangan pendukungnya. Komunikasi publik hari ini, hadir di ruang yang sarat kepentingan dalam menciptakan realitas.

Dalam tantangan di atas, komunikasi publik hanya dituntut transparan. Menginformasikan apa adanya. Ini lantaran, realitas yang paling virtual pun tak mampu menepis keadaan yang otentik. Betapa pun banyak penganut “bumi itu datar” namun adanya foto-foto bumi yang diabadikan NASA. Juga perhitungan Fisika ~yang memastikan gerak berkelanjutan semesta ketika bumi dan benda angkasa lainnya bulat~ pandangan berdasar jumlah pengikut yang besar, bakal pupus.

Pada peristiwa yang menyerap perhatian publik ~termasuk peraihan doktor kilat di atas~ tak selayaknya ditutupi. Komunikasi kerap dilakukan, mengharap segera meredakan perbincangan publik. Paradoksnya, justru mendorong publik menemukan kebenaran dengan caranya sendiri. Rekayasa penghargaan ilmuwan internasional.

Juga pemilik Akun Fufufafa, publik terus menguaknya lewat perbincangan media sosial. Seluruhnya ini, mengisyaratkan tentang hari depan komunikasi publik. Perlu transparansi atau dibongkar publik itu sendiri. Jika terbongkar, hanya malu yang jadi beban. Dengan terkuaknya aneka kebenaran yang dipalsukan, bukankah ini utang komunikasi publik pada media digital?

*Penulis merupakan pendiri literos.org. yang juga dikenal sebagai pemerhati budaya dan komunikasi digital.

Comment