EDISIINDONESIA.id- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan lokal telah memicu perdebatan sengit dan kritik terhadap lembaga peradilan tersebut.
Hal ini mendorong tuntutan mendesak untuk mereformasi syarat pencalonan hakim MK.
Peneliti Senior BRIN, Prof. Siti Zuhro, dalam diskusi daring Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri pada Selasa, 1 Juli 2025, menekankan perlunya perspektif yang lebih komprehensif dalam pengambilan keputusan MK.
Ia menuturkan bahwa putusan tersebut harus mempertimbangkan aspek ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik secara menyeluruh.
Prof. Zuhro, yang juga dosen magister politik UMJ, menyarankan agar syarat menjadi hakim MK tidak hanya berfokus pada latar belakang hukum ketatanegaraan.
Beliau mengusulkan agar dari sembilan hakim, minimal dua orang memiliki latar belakang ilmu pemerintahan dan politik.
Hal ini dinilai penting untuk memastikan putusan MK lebih komprehensif dan mempertimbangkan dampaknya terhadap seluruh aspek kehidupan bernegara.
Putusan MK yang kontroversial ini menjadi momentum penting untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.(edisi/rmol).
Comment